Minggu, 25 Januari 2009

Oh Buku…Oh Hutan…

Ada banyak alasan orang membeli buku, untuk di Indonesia meskipun buku bukanlah sebuah kebutuhan pokok namun jika ada pameran buku di tempat umum maupun promo buku murah yang di selanggarakan oleh toko-toko buku, hampir bisa dipastikan pengunjung yang datang selalu ramai.

Keinginan untuk mendapatkan buku murah sebagai bacaan rupanya masih tinggi dimasyarakat kita. Meskipun di data stastistik Indonesia bukan termasuk yang tinggi konsumsi bukunya dibandingkan negara lain di Asia. Hal ini sedikitnya merupakan kabar yang cukup baik di tengah gempuran acara televisi yang masih terus berjaya dengan sinetron yang setia membuai masyarakat kita dengan mimpi-mimpi semu yang membuat bangsa kita lebih banyak melakoni budaya melihat dan mendengar daripada budaya membaca.

Tapi animo masyarakat tersebut rupanya tidak dibarengi dengan harga yang “bersahabat” atas buku-buku baru yang dijual di toko buku terutama saat BBM sudah memanjat lebih tinggi. Juga terbitnya buku-buku yang bermutu tinggi. Kabar gulung tikarnya beberapa penerbit di Jawa Timur terutama penerbit kecil menengah tentu merupakan kabar yang juga patut untuk disesali.

Tradisi untuk mencetak dalam jumlah besar untuk setiap judul yang baru terbit, pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Belum lagi distribusinya ke toko-toko buku yang akhirnya membuat harga jual buku semakin tinggi. Biaya yang dibebankan pada harga jual buku, menyebabkan buku akhirnya semakin tak terjangkau terutama buku-buku baru.

Perkembangan penulis-penulis Indonesia saat ini sebenarnya sudah boleh dibilang lumayan, meskipun masih di warnai dengan tema-tema fiksi remaja yang merajai terbitan buku-buku baru. Buku Islam saat ini juga mengalami perkembangan yang lumayan pesat, terutama yang ikut dalam wadah penulisan seperti Forum Lingkar Pena yang memang mewadahi penulis muda yang menulis tentang Islam. Juga buku-buku kuliner yang menjadi Bestseller di toko buku besar semacam Gramedia.

Apakah semua buku-buku yang dicetak secara besar untuk setiap judulnya tersebut mendapatkan pasar yang tepat, sehingga penerbit bisa menangguk untung? Tunggu dulu..

Pada kenyataannya, tidak semua penerbit yang menerbitkan buku karya orang terkenal sekalipun bisa menangguk untung dari buku-buku yang diterbitkan. Bagaimanapun menciptakan buku menjadi Bestseller tetaplah sebuah misteri yang sampai saat ini belum terpecahkan. Arah pasar untuk menyukai buku sungguh tidak bisa ditebak. Setelah era booming Harry Potter hampir banyak penulis lain yang berlomba-lomba menulis kisah fantasi yang diluar nalar, namun dalam penjualannya belum se-fantastis Harry Potter yang fenomenal di seluruh dunia dan seakan sanggup menyihir semua kalangan untuk membacanya.

Dalam era digital saat ini, perkembangan informasi yang tanpa batas waktu dan tempat karena eksisnya Internet, harusnya disambut baik oleh penerbit sebagai salah satu wahana menciptakan sistem penerbitan buku yang lebih baik. Juga hadirnya Online Bookstores yang bisa membantu promosi penjualan buku-buku serta display katalog buku-buku yang dijual.

Seperti yang telah kita ketahui, kertas sebagai bahan baku buku, diciptakan dari penebangan pohon-pohon yang ada dihutan. Meskipun saat ini sudah ada kertas yang dicetak dari hutan yang berkelanjutan seperti yang di lakukan Ayu Utami untuk Novel terbarunya Bilangan Fu, tapi berapa tingkat prosentasenya di bandingkan dengan buku yang di cetak dari penebangan hutan biasa yang tidak berkelanjutan?

Dengan mencetak buku beribu-beribu eksemplar untuk setiap judulnya tanpa tahu buku tersebut akan laku atau tidak mungkin bukanlah hal yang baik nantinya. Baik dalam strategi marketing maupun bagi lingkungan kita, terutama hutan kita yang kabarnya merupakan paru-paru dunia.

Menciptakan buku yang paperless seperti yang diawali pembuatan buku digital layaknya Kindle yang gencar di promosikan Amazon.com juga merupakan inovasi yang patut di apresiasi. Juga langkah yang diambil Dewi Lestari untuk Novel terbarunya Perahu Kertas yang bisa dibaca lewat Handphone yang menggandeng salah satu operator seluler. Kabarnya Hamsad Rangkuti yang juga salah satu sastrawan kita di pinang oleh salah satu operator untuk menerbitkan cerpen-cerpennya melalui sistem yang sama seperti Dewi Lestari. Langkah-langkah ini selain mengurangi jumlah cetakan kertas juga mengurangi pembajakan yang sering dialami penulis.

Namun kendalanya tentu masih di harga yang lumayan tinggi serta harus ada ketersediaan listrik dan pulsa telepon jika ingin membacanya. Selain itu jika membaca buku elektronik (ebook) selain membutuhkan konsumsi listrik, untuk membaca melalui layar monitor atau laptop juga terasa sangat melelahkan mata.

Lantas langkah apa yang saat ini harusnya disikapi oleh penerbit untuk mengsiasati keadaan ini?

Penerbitan buku dengan sistem Print-On-Demand atau cetak by order merupakan langkah yang cukup beralasan. Selain menghemat biaya dan mengurangi cetakan yang belum pasti penggunanya, langkah ini juga akan membantu mengurangi penggunaan kertas yang notabene dari menebang pohon di hutan juga tentu akan menyelamatkan hutan kita dari kerusakan.

Bisnis penerbitan buku dengan tradisi lama bisa dikatakan memiliki tingkat spekulasi yang cukup tinggi. Saat ini, di era yang semakin canggih, sudah begitu banyak pilihan. Begitu juga dengan sistem penerbitan untuk buku. Sudah saatnya para penerbit dan pemasar buku juga pembeli bisa memilih langkah yang semakin cerdas. Lantas apa pula pilihan Anda?

Cheerz

Eviwidi

Tidak ada komentar: