Senin, 23 Maret 2009

Kontemplasi Dengan Mbatik

“Ada salah satu motif batik yang tidak dianjurkan untuk dipakai, yaitu motif kembang kentang” –Indra Tj-

Ada beragam motif batik di Indonesia, negeri kita tercinta ini, dengan berbagai motif itu ternyata memang ada beberapa motif yang dibuat untuk momen-momen tertentu dengan filosofi tertentu dan dipakai oleh orang tertentu pula.

Demikian paparan dari Ibu Indra Tjahjani Dosen di Bina Nusantara dan Paramadina yang menekuni dunia Batik dan melestarikannya lewat acara membatik yang dibuka untuk umum, siapapun bisa belajar padanya.

Adapun kenapa ada motif batik ada yang tidak dianjurkan, Ibu Indra-pun belum mengetahuinya mengapa, dan mengapa dibuat kalau memang tidak untuk dipakai.

Motif kembang kentang kabarnya akan memberi efek kurang baik bagi pemakainya, mungkin seperti kesialan dan lain-lain. Ujar Ibu Indra yang telah menyelesaikan Scholarship S3-nya di Canberra University tersebut.

Saya berkesempatan mengikuti event belajar membatik tersebut pada tanggal 15 Maret lalu di Gedung Museum Bank Mandiri.

Acara berlangsung tenang dari pukul 09.00 hingga 12.30 WIB diikuti kurang lebih 85 peserta laki-laki dan perempuan. Acaranya dimulai dengan presentasi tentang sejarah batik dan ragam batik tanah air dengan memberi contoh-contoh kain batik. Selain kain dan pakaian, juga ada benda-benda terapan lain yang menggunakan ragam motif batik, seperti tas, sarung bantal, dan lain-lain.

Dalam sejarahnya, kata batik berasal dari bahasa Jawa yang artinya membuat TITIK.

Di dalam negeri, ada beberapa daerah yang membuat batik dan memiliki motif batik yang berbeda-beda antara daerah satu dan yang lainnya. Seperti batik Yogya dan Solo, motifnya halus dan terlihat rumit, sedangkan batik Madura motifnya terlihat besar-besar dan lebih berwarna dibadingkan batik Solo yang cenderung kecoklatan seperti warna-warna tanah dan terkesan misterius dan magis.

Pada proses pembuatannya juga ada beberapa cara, misalnya seperti batik tulis yang dibuat bolak-balik, kecuali apabila diatas kain sutera. Kemudian ada batik tulis dan cap, batik cap yang diawali tahun 1845 pembuatannya, lalu berkembang lagi menjadi batik printing dan batik sablon.

Motif-motif batik misalnya motif Parang Kusumo, untuk dikenakan calon penganten putri saat tukar cincin, memiliki makna hati yang berbunga-bunga. Motif Sekar jagat dikenakan oleh orang tua penganten, maknanya hati yang sedang gembira. Motif Sidomukti dikenakan oleh penganten berdua saat resepsi, maknanya semoga berbahagia dan berkecukupan.
Dan masih banyak motif-motif lain dengan tujuan dan pemakai yang berbeda-beda. Ada juga motif batik yang digunakan khusus oleh keluarga keraton.

Acara yang ditunggu-tunggupun akhirnya datang juga, yaitu belajar membatik. Belajar membatik ini, dilakukan sambil ‘ndeprok’ alias duduk dilantai di teras belakang Museum bank Mandiri.

Peserta mulai berkenalan dengan bahan-bahan membatik seperti malam,canting, wajan kecil (penggorengan-red) dan kompor kecil.

Bahan yang akan diberi motif batik memang sudah disiapkan lengkap dengan motif yang telah dijiplak untuk peserta. Kemudian baru dilakukan proses waxing atau menutup motif dengan malam, secara bolak-balik.
Motif yang ditutup ini nantinya akan berwarna menjadi putih, karena kainnya akan dicelupkan kewarna-warna yang bisa dipilih.

Jika ingin membuat motif yang pecah-pecah atau semburat disekitar area yang tidak ditutup malam, bisa diberi dengan parafin yang telah dicairkan.

Jadi olesi bagian yang tidak ingin diwarnai atau membentuk pola yang pecah-pecah dengan parafin yang sudah dicairkan, setelah kering remas-remas parafin itu hingga rontok.

Setelah proses ini dilanjutkan proses pewarnaan, awalnya di celup dengan Naphtol untuk mengikat warna, setelah itu dicelup ke warna yang diinginkan dengan carian pewarna.

Setelah diwarna, lalu kain atau T-shirt tersebut 'digodok' atau dimasak untuk melepaskan malam yang menempel. Proses ini namanya 'dilorot'.

Setelah dilorot lantas dijemur..dan ...eng-ing-eng...jadi dehhh.....

Ini proses untuk satu warna saja, kalo ada beberapa warna yang akan digunakan prosesnya lebih panjang lagi.

Selama proses membatik atau menutup pola dengan malam menggunakan canting, saya merasakan bisa tenggelam di dalam proses itu. Waktu seolah berhenti. Saya merasakan relaksasi pikiran selama memegang canting, mengambil malam, melukiskannya di kain…. Inilah saat-saat di mana saya merasa berkomtemplasi. Begitu khusuk dan khidmat. Pikiran begitu fokus dan penuh perhatian hanya untuk membatik.

Seperti halnya saat membaca sebuah buku, mungkin Anda pernah mengalami saat-saat Anda begitu hanyut dalam cerita di buku dan tenggelam didalamnya. Anda seperti merasakan emosi tokoh-tokoh yang ada di dalam buku itu, dan menjadi bagian dari tokoh-tokoh itu dan seolah-olah berada ditempat yang sama. Itulah saat yang dinamakan ludic.

Dalam proses membatik ini, saya menyebutnya kontemplasi karena kita bisa sambil merenung dan fokus pada apa yang kita kerjakan, kita tidak hanya dituntut sabar namun juga hati-hati dan telaten, karena jika tidak maka batik kitapun akan jelek hasilnya.

Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata banyak sekali nilai-nilai filosofi dalam kebudayaan Jawa yang belum saya ketahui, saya semakin ingin mengenal lebih jauh tentang budaya Jawa dan ikut melestarikannya jika memiliki kesempatan. Selama ini saya masih sering tenggalam dalam euphoria budaya luar, saat menengok budaya sendiri, ternyata ilmu saya tidak ada apa-apanya.
Saya seperti tersesat di ladang sendiri, padahal ladang itu setiap hari saya kunjungi dan diami, namun sudut-sudutnya tidak pernah saya perhatikan dengan baik.

Foto-foto kegiatan mbatik saya bisa dilihat di sini.

Note : kon•tem•pla•si /kontémplasi/ n renungan dsb dng kebulatan pikiran atau perhatian penuh;
ber•kon•tem•pla•si v merenung dan berpikir dng sepenuh perhatian
(menurut http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/)


Jakarta, 23 Maret 2009.

-Eviwidi-

Minggu, 22 Maret 2009

‘What Generation’ Yang Tidak Bisa Mengunyah?

Cengkeraman blog sudah menjalar ke segala ranah. Dari sekadar ranah ‘ecek-ecek’ hingga ranah pilitik. Ditambah lagi situs jaringan sosial yang sudah berganti wujud menjadi zat adiktif bagi semua mahluk yang kenal dengan spesies bernama internet.

Hari gini gak punya blog? Duhhh…

Jika dulu makanan pokok memiliki slogan ‘4 sehat 5 sempurna’ sekarang sudah saatnya menjadi ‘5 sehat 6 sempurna’ apakah yang keenam? Tentu saja internet!

Internet saat ini adalah salah satu kebutuhan pokok, akuilah saja.

Orang boleh memilih tidak menggunakan internet, tapi resiko yang ditanggung sudah pasti dia akan ketinggalan dan mau tak mau akan terus ketinggalan karena dunia teknologi informasi makin berkembang dan terus berkembang.

Di era informatika yang tak jauh-jauh juga dari berkembangnya gadget, menjadi pemeran penting dalam membentuk generasi baru, generasi blog, generasi FB, generasi iPod dan sekarang generasi iPhone.

Jika saya sedang di busway atau menunggu di ruang tunggu bandara, ruang tunggu terminal bus atau kereta api hampir sebagian besar pada tiap pasang telinga ada kabel kecil panjang yang menggelantung manja di sana.

Sehingga setiap kali ada orang bertanya pasti akan diawali dengan kata; ‘Apaa..?!’ sambil melepaskan kabel dengan gumpalan plastic diujungnya. Siapakah mereka? Apakah Anda termasuk di dalamnya? Itulah mereka, generasi sekarang, ‘What Generation’.

Hujan tema di blogsphere pun tak jauh-jauh dari ulah si ‘What Generation’ ini. Berbagai tema datang silih berganti di dunia blog.

Tetapi.

Ternyata saya masih sedikit bingung dengan pola pikir masyarakat kita yang katanya sudah mulai melek teknologi ini, yang sudah jadi ‘What Generation’ ini.

Blog yang katanya adalah media paling terbuka dan demokratis, semua orang bisa ‘ngoceh’ apa saja tentang yang mereka mau. Namun mana kala ada tema yang sedikit berat, pasti dibilangnya ‘kok berat yaaa….aku gak mau baca ah yang berat-berat..’

Kalo terlalu ringan akan diikuti komentar..‘ih gak penting banget sih..’

Kalo ada komentar yang menanggapi untuk memberi kritik, langsung meradang dan mencaci-maki yang menggkritisi sampai akhirnya merembet hingga jadi kasus pencemaran nama baik padahal mungkin awalnya hanya ingin mengkritisi saja.

Kalo ada komentar yang ringan-ringan saja, dibilangnya ‘kalo gak niat kasih komentar gak usah komentar..’

Jika ada yang posting tema-tema yang lagi hot dibilangnya ‘ikut-ikutan saja, gak kreatip, pasti cuma mau naikin traffic saja di blog-nya, gak mutu!..’

Kebalikan dari ‘what generation’ saya akan pakai ‘generation what’ kita ini sebenarnya hidup di generasi apa?

Seharusnya bagaimana?

Apakah generasi yang tidak peduli apapun ‘lo lo - gue gue’ ? Genarasi narsis yang setiap individu adalah the center of the universe dan ogah dengar kritikan orang lain?

Generasi yang gak mau tahu -dan parahnya- diadopsi oleh pemerintahannya juga?

Atau memang masyarakat kita dan generasi sekarang entah karena salah asuhan, salah memilih teman atau salah memilih lingkungan, adalah generasi yang sudah terbiasa dimanja oleh keadaan? Hingga tak bisa mengunyah apapun dan segala yang ada di depannya langsung telan jika terlihat bagus dan langsung melepehnya jika terlihat buruk?

Bila disodori yang sedikit perlu ‘kunyahan’ saja langsung mengeluh ini dan itu.

Apakah memang sejak dulu masyarakat kita doyan mengeluh dan tidak pandai mengunyah?

Sekarang banyak sekali peristiwa yang jika dari luar ‘tampak seolah-olah’ itu adalah murni kasus. Tapi setelah dikunyah lebih jauh itu tidak lebih dari sekadar rekayasa dan sandiwara belaka. Dan pada akhirnya kita merasa seperti orang bodoh yang memang pantas diberi berita bohong dan layak dibodoh-bodohi.

Mungkinkah ini terkait dengan karakter masyarakat kita yang sukanya main telan dan tidak mau mengunyahnya?

-Eviwidi-

Book Reviewer,Pecinta Buku,Blogger.