Kamis, 29 Januari 2009

Antara Kopi, Café, Laptop dan Buku

Pernah nongkrong di café, ngopi sambil baca buku atau chatting? Sepertinya fenomena seperti ini sekarang sangat jamak ditemui. Terutama di Café-café baik di Mall maupun di outlet Café itu sendiri yang menyediakan tempat yang nyaman buat nongkrong dan berlama-lama di Café. (Hemm..sepertinya untuk beberapa kalimat diatas, saya menggunakan kata-kata asing cukup banyak yaa, Doh, jadi gak enak sama Om EYD.. :P )

Ibarat paket hemat, bundlingan tempat yang nyaman, menu minuman dan makanan yang lezat, ditambah free hotspot seakan sudah menjadi syarat mutlak untuk sebuah café supaya bisa menarik tamu. Tamu yang tidak bawa laptop, membawa buku bacaan di café juga gak kalah keren. Apasih sebenarnya yang menggeser perubahan dari café yang semula hanya buat minum kopi menjadi semacam tempat untuk berbagai aktifivitas dan bahkan jadi gengsi sosial tersendiri?

Jika diamati (meskipun saya bukan pengamat.. :D ) perubahan ini dipengaruhi oleh perilaku cara orang berkomunikasi. Di era yang serba digital saat ini, yang semua seakan borderless, dimana jarak dan waktu bukan lagi sebuah halangan untuk berkomunikasi. Hal ini menjadikan perilaku orang juga bergeser. Bicara maupun meeting cukup lewat telepon genggam. Meeting dengan klien luar negeri bisa pakai tele-conference. Ngobrol santai bisa lewat chatting. Belanja bisa lewat online dan delivery. Mengerjakan tugas kantor bisa dimana saja asal ada sambungan Internet. Banyak kantor saat ini yang untuk menekan cost sewa ruangan atau gedung, air listrik dan tagihan-tagihan yang lain menggunakan jasa Virtual Office dan semua tugas bisa di kerjakan karyawannya dari mana saja, asal tersambung Internet. Bahkan mencari jodoh dan kuliah bisa lewat jasa Internet ini. Hal inilah yang membuat orang akhirnya mencari tempat senyaman dan seenak mungkin ketika mengerjakan tugas-tugas apapun, baik tugas kantor,kuliah sekolah bahkan profesi seperti penulis maupun bikin scenario film dikerjakan di café. Sudah internet gratisan, tempat enak, diiringi musik,makanan tinggal pesan, olala…

Karena kemudahan dan kenyamanan inilah, mungkin yang sekarang menyebabkan banyak bermunculan penulis-penulis muda. Dimana buku-buku baru begitu banyak bermunculan terutama novel fiksi yang sepertinya saat ini lebih bergairah. Begitu juga penulis-penulis dadakan di blog yang hampir ratusan jumlah pertambahannya setiap hari. Hal ini juga dibarengi dengan banyak munculnya café-café baru di Mall atau pusat-pusat perbelanjaan dengan menawarkan berbagai fasilitas untuk membuat betah tamu-tamunya.

Lantas apakah ini gejala baik atau gejala buruk dalam masyarakat? Dari sisi ekonomi tentu ini gelaja baik karena ada simbiose mutualisme yang bekerja di sini. Penulis bisa dapet ketenangan dan kenyamanan menulis atau mengerjakan pekerjaannya, pemilik café merasa untung karena si tamu ini pasti beli menu makanan atau minuman disitu, (yang biasanya di banderol cukup mahal). Sekarang begitu banyak pilihan dan fasilitas. Ketika Anda ingin menulis atau mengerjakan tugas yang bisa dikerjakan di mana saja, mana yang akan Anda pilih? Di rumah saja sambil bikin kopi sachet, atau pergi ke café dan minum kopi café?

Minggu, 25 Januari 2009

Oh Buku…Oh Hutan…

Ada banyak alasan orang membeli buku, untuk di Indonesia meskipun buku bukanlah sebuah kebutuhan pokok namun jika ada pameran buku di tempat umum maupun promo buku murah yang di selanggarakan oleh toko-toko buku, hampir bisa dipastikan pengunjung yang datang selalu ramai.

Keinginan untuk mendapatkan buku murah sebagai bacaan rupanya masih tinggi dimasyarakat kita. Meskipun di data stastistik Indonesia bukan termasuk yang tinggi konsumsi bukunya dibandingkan negara lain di Asia. Hal ini sedikitnya merupakan kabar yang cukup baik di tengah gempuran acara televisi yang masih terus berjaya dengan sinetron yang setia membuai masyarakat kita dengan mimpi-mimpi semu yang membuat bangsa kita lebih banyak melakoni budaya melihat dan mendengar daripada budaya membaca.

Tapi animo masyarakat tersebut rupanya tidak dibarengi dengan harga yang “bersahabat” atas buku-buku baru yang dijual di toko buku terutama saat BBM sudah memanjat lebih tinggi. Juga terbitnya buku-buku yang bermutu tinggi. Kabar gulung tikarnya beberapa penerbit di Jawa Timur terutama penerbit kecil menengah tentu merupakan kabar yang juga patut untuk disesali.

Tradisi untuk mencetak dalam jumlah besar untuk setiap judul yang baru terbit, pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Belum lagi distribusinya ke toko-toko buku yang akhirnya membuat harga jual buku semakin tinggi. Biaya yang dibebankan pada harga jual buku, menyebabkan buku akhirnya semakin tak terjangkau terutama buku-buku baru.

Perkembangan penulis-penulis Indonesia saat ini sebenarnya sudah boleh dibilang lumayan, meskipun masih di warnai dengan tema-tema fiksi remaja yang merajai terbitan buku-buku baru. Buku Islam saat ini juga mengalami perkembangan yang lumayan pesat, terutama yang ikut dalam wadah penulisan seperti Forum Lingkar Pena yang memang mewadahi penulis muda yang menulis tentang Islam. Juga buku-buku kuliner yang menjadi Bestseller di toko buku besar semacam Gramedia.

Apakah semua buku-buku yang dicetak secara besar untuk setiap judulnya tersebut mendapatkan pasar yang tepat, sehingga penerbit bisa menangguk untung? Tunggu dulu..

Pada kenyataannya, tidak semua penerbit yang menerbitkan buku karya orang terkenal sekalipun bisa menangguk untung dari buku-buku yang diterbitkan. Bagaimanapun menciptakan buku menjadi Bestseller tetaplah sebuah misteri yang sampai saat ini belum terpecahkan. Arah pasar untuk menyukai buku sungguh tidak bisa ditebak. Setelah era booming Harry Potter hampir banyak penulis lain yang berlomba-lomba menulis kisah fantasi yang diluar nalar, namun dalam penjualannya belum se-fantastis Harry Potter yang fenomenal di seluruh dunia dan seakan sanggup menyihir semua kalangan untuk membacanya.

Dalam era digital saat ini, perkembangan informasi yang tanpa batas waktu dan tempat karena eksisnya Internet, harusnya disambut baik oleh penerbit sebagai salah satu wahana menciptakan sistem penerbitan buku yang lebih baik. Juga hadirnya Online Bookstores yang bisa membantu promosi penjualan buku-buku serta display katalog buku-buku yang dijual.

Seperti yang telah kita ketahui, kertas sebagai bahan baku buku, diciptakan dari penebangan pohon-pohon yang ada dihutan. Meskipun saat ini sudah ada kertas yang dicetak dari hutan yang berkelanjutan seperti yang di lakukan Ayu Utami untuk Novel terbarunya Bilangan Fu, tapi berapa tingkat prosentasenya di bandingkan dengan buku yang di cetak dari penebangan hutan biasa yang tidak berkelanjutan?

Dengan mencetak buku beribu-beribu eksemplar untuk setiap judulnya tanpa tahu buku tersebut akan laku atau tidak mungkin bukanlah hal yang baik nantinya. Baik dalam strategi marketing maupun bagi lingkungan kita, terutama hutan kita yang kabarnya merupakan paru-paru dunia.

Menciptakan buku yang paperless seperti yang diawali pembuatan buku digital layaknya Kindle yang gencar di promosikan Amazon.com juga merupakan inovasi yang patut di apresiasi. Juga langkah yang diambil Dewi Lestari untuk Novel terbarunya Perahu Kertas yang bisa dibaca lewat Handphone yang menggandeng salah satu operator seluler. Kabarnya Hamsad Rangkuti yang juga salah satu sastrawan kita di pinang oleh salah satu operator untuk menerbitkan cerpen-cerpennya melalui sistem yang sama seperti Dewi Lestari. Langkah-langkah ini selain mengurangi jumlah cetakan kertas juga mengurangi pembajakan yang sering dialami penulis.

Namun kendalanya tentu masih di harga yang lumayan tinggi serta harus ada ketersediaan listrik dan pulsa telepon jika ingin membacanya. Selain itu jika membaca buku elektronik (ebook) selain membutuhkan konsumsi listrik, untuk membaca melalui layar monitor atau laptop juga terasa sangat melelahkan mata.

Lantas langkah apa yang saat ini harusnya disikapi oleh penerbit untuk mengsiasati keadaan ini?

Penerbitan buku dengan sistem Print-On-Demand atau cetak by order merupakan langkah yang cukup beralasan. Selain menghemat biaya dan mengurangi cetakan yang belum pasti penggunanya, langkah ini juga akan membantu mengurangi penggunaan kertas yang notabene dari menebang pohon di hutan juga tentu akan menyelamatkan hutan kita dari kerusakan.

Bisnis penerbitan buku dengan tradisi lama bisa dikatakan memiliki tingkat spekulasi yang cukup tinggi. Saat ini, di era yang semakin canggih, sudah begitu banyak pilihan. Begitu juga dengan sistem penerbitan untuk buku. Sudah saatnya para penerbit dan pemasar buku juga pembeli bisa memilih langkah yang semakin cerdas. Lantas apa pula pilihan Anda?

Cheerz

Eviwidi